Labels

Friday, June 29, 2012

Pengertian Klausa


Klausa djelaskan sebagai satuan gramatik yang terdiri dari P, baik disertai S, O, PEL, dan KET ataupun tidak. Dengan ringkas, klausa ialah (S) P (O) (PEL) (KET). Tanda kurung menandakan bahwa apa yang terletak dalam kurung itu bersifat manasuka, artinya boleh ada, boleh juga tidak ada.
Sebenarnya unsure inti klausa ialah S dan P karena sebagian besar kalimat memiliki unsure S dan unsur P. Namun demikian, S sering juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa, dan dalam kalimat jawaban. Misalnya :
  1. Tengah Udin menangis menghadapi tembok, Bapak Deny masuk diantar mama Adi.
  2. Sedang bermain-main. (sebagai jawaban pertannyaan Anak-anak itu sedang mengapa?
Kalimat pertama, di samping intonasinya, terdiri dari empat a. Udin menangis; b. menghadap tembok; c. Bapak Deny masuk; dan d. diantar mama Adi. Klaus a terdiri dari unsure S dan P; klausa b terdiri dari unsure P diikuti O; klausa c terdiri dari unsure S dan P; dan klausa d terdiri dari unsure P diikuti oleh KET. Akibat penggabungan klausa a dengan klausa b, S pada klausa 2 dibuangkan; demikian pula akibat penggabungan klausa c dengan klausa d, S pada klausa d dibuangkan. Lengkapnya klausa-klausa tersebut sebagai berikut; a. Udin menangis; b. Udin menghadap tembok; c. Bapak Deny masuk; dan d. Bapak Deny masuk diantar mama Adi.
Kalimat kedua Sedang bermain-main, di samping intonasinya, terdiri dari satu klausa, ialah sedang bermain-main, yang hanya terdiri dari P. S-nya dibuangkan karena merupakan jawaban dari suatu pertanyaan. Lengkapnya klausa tersebut berbunyi anak-anak itu sedang bermain-main.
Dengan uraian di atas, jelasnya bahwa unsure yang selalu ada dalam klausa ialah P. unsure-unsur lainnya mungkin ada, mungkin juga tidak ada.



Analisis Klausa
Klausa dapat dianalisis berdasarkan tiga dasar, ialah :
  1. Berdasarkan fungsi unsure-unsurnya.
  2. Berdasarkan kategori kata atau frase yang menjadi unsurnya.
  3. Berdasarkan makna unsure-unsurnya.

Analisis Klausa Berdasarkan Fungsi unsure-unsurnya
Klausa terdiri dari unsure-unsur fungsional yang disini disebut S, P, O, PEL, dan KET. Kelima unsure ini memang tidak selalu ada dalam satu klausa. Kadang-kadang satu klausa hanya terdiri dari S dan P, kadang terdiri dari S, P, dan O, kadang-kadang terdiri  dari S, P, dan KET, kadang-kadang terdiri dari S, P, PEL, dan KET, dan kadang-kadang hanya terdiri dari P saja. Unsure fungsional yang selalu ada dalam klausa ialah P; unsure-unsur yang lain mungkin ada, mungkin juga tidak ada.

S dan P
Sebelum dijelaskan apa yang dimaksud dengan S dan P dasar penentuannya, lebih dulu marilah kita perhatikan dua kalimat di bawah ini :
  1. Agung tidak berlari-lari.
  2. Badannya sangat lemah.
Kalimat pertama  di atas terdiri dari dua unsure ialah unsure yang berupa klausa, ialah Agung tidak berlari-lari, dan unsure yang berupa intonasi, ialah (2) 3 // (2) 3 1 #. Unsure Agung memiliki intonasi (2) 3 // dan unsure tidak berlari-lari memiliki intonasi (2) 3 1 #. Jelasnya demikian :

Agung tidak berlari-lari
(2)3       // (2)          3 1 #
Unsure klausa yang memiliki intonasi (2) 3 // di sini merupakan S klausa itu, sedangkan unsureklausa yang memiliki intonasi (2) 3 1 # merupakan P klausa itu. Dengan demikian, unsure Agung merupakan S klausa itu, dan unsure tidak berlari-lari merupakan P-nya, atau dengan kata lain, unsure Agung menempati fungsi S dang unsure tidak berlari-lari menempati fungsi P.
Kalimat kedua juga mempunyai dua unsur, ialah klausa badannya sangat lemah, dan intonasi (2) 3 // (2) # Unsur badannya memiliki intonasi (2) 3 // dan unsur sangat lemah memiliki intonasi (2) 3 # Jelasnya demikian :
badannya sangat lemah
(2) 3 //      (2)            3  #
Unsur klausa yang memiliki intonasi (2) 3 // merupakan S klausa itu, dan unsur yang memiliki intonasi (2) 3 # merupakan P-nya.
Demikianlah, unsur badannya merupakan S klausa itu, dan unsur sangat lemah merupakan unsur P-nya, atau dengan kata lain, unsur badannya menduduki fungsi S, dan unsur sangat lemah menduduki fungsi P.
Dari uraian di atas, dapat dibuat kesimpulan bahwa berdasarkan intonasinya, dalam kalimat yang hanya terdiri unsur-unsur inti saja S ialah unsure klausa yang berintonasi (2) 3 // dan P ialah unsur klausa yang yang berintonasi (2) 3 1 # atau (2) 3 #
Apabila unsure itu berakhir dengan kata yang suku kedua dari belakangnya bervokal /e/ seperti kata-kata lemah, keras, bekerja, penting, dan sebagainya.



O dan PEL
P mungkin terdiri dari golongan kata verbal transitif, mungkin terdiri dari golongan kata verbal intrasitif, dan mungkin pula terdiri dari golongan-golongan kata yang lain. Apabila terdiri dari golongan kata verbal transitif, diperlukan adanya O yang mengikuti P itu. Misalnya :
  1. Pemerintah akan menyelenggarakan pesta seni.
Kalimat di atas terdiri dari dua unsur, ialah klausa   pemerintah akan menyelenggarakan pesta seni, dan intonasinya (2) 3 // (2) 3 1 #. Klausa pemerintah akan menyelenggarakan pesta seni terdiri dari tiga unsure funsional, ialah pemerintah sebagai S, unsure akan menyelenggarakan sebagai P, dan unsur pesta seni sebagai O, yang di sini merupakan O1.
O1 selalu terletak di belakang P yang terdiri dari kata verbal transitif. Karena P itu sendiri dari kata verbal transitif. Maka klausa itu dapat diubah menjadi klausa pasif. Apabila dipasifkan, kata atau frase yang menduduki fungsi O1 selalu menduduki fungsi S. Misalnya apabila klausa dalam kalimat  tersebut dipasifkan, akan menjadi :
1.1  Pesta seni akan diselenggarakan (oleh) pemerintah.
Pesta seni yang dalam klausa (1) menduduki fungsi O1, dalam klausa kalimat (1.1) menduduki fungsi S.
Demikianlah dapat disimpulkan bahwa O1 mempunyai cirri selalu terletak di belakang P yang terdiri dari dari kata verbal transitif, dan kalau klausa itu dirubah dari klausa aktif menjadi klausa pasif.
PEL mempunyai persamaan dengan O, baik O1 maupun O2 ialah selalu terletak di belakang P. perbedaannya ialah O selalu terdapat dalam klausa yang dapat dipasifkan, sedangkan PEL terdapat dalam klausa yang tidak dapat diubah menjadi bentuk pasif. Misalnya :
  1. Orang itu selalu berbuat kebaikan.
    S                  P                      PEL
S klausa kalimat di atas ialah orang itu, P-nya selalu berbuat, dan kata kebaikan menduduki fungsi PEL.
Contoh-contoh lain misalnya :
  1. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila.
  2. Teman orang itu sedang menyanyi.
  3. Banyak orang asing belajar bahasa Indonesia.
  4. Orang tua anak itu berjualan bakmi di pasar.
Berturut-turut PEL klausa kalimat-kalimat di atas ialah Pancasila (2), menyanyi(3), bahasa Indonesia(4), dan bakmi(5).

KET
Unsur klausa yang tidak menduduki fungsi S, P, O, dan PEL dapat diperkirakan menduduki fungsi KET. Berbeda dengan O dan PEL yang selalu terletak dibelakang P, dalam suatu klausa KET pada umumnya mempunyai letak yang bebas, artinya dapat terletak di depan S-P, dapat terletak di antara S dan P, dan dapat juga terletak di belakang sekali. Hanya sudah tentu tidak mungkin terletak di antara P dan O dan diantara P dan PEL karena O dan PEL boleh dikatakan selalu menduduki tempat langsung di belakang P, setidak-tidaknya mempunyai kecenderungan demikian. Misalnya :
  1. Akibat taufan desa-desa itu musnah.
Dalam kalimat (1) di atas unsur yang menduduki fungsi KET ialah unsur akibat taufan yang terletak di muka S-P, unsur KET itu dapat dipindahkan ke belakang S-P, menjadi :
1.1  Desa-desa itu akibat taufan musnah.
1.2  Desa-desa itu musnah akibat taufan.
Tetapi apabila ada O atau PEL-nya, maka unsur KET itu tidak dapat dipindahkan ke tempat di antara P dan O atau PEL, kecuali apabila O itu terdiri dari frase yang panjang. Misalnya :
  1. Udin membersihkan kacamatanya dengan selampai putih.
Unsur yang menduduki fungsi KET ialah unsur dengan selampai putih yang terletak di belakang sekali. Unsur tersebut dapat dipindahkan ke depan S-P dan ke tempat di antara S dan P, menjadi :
2.2  Dengan selampai putih Udin membersihkan kacamatanya.
2.3  Udin dengan selampai putih membersihkan kacamatannya.
Tetapi tidak dapat dipindahkan ke tempat di antara P dan O menjadi :
2.4  * Udin membersihkan dengan selampai putih kacamatanya.


Analisi Klausa Berdasarkan Makna Unsur-unsurnya.
Dalam analisis fungsional klausa dianalisis berdasarkan fungsi unsure-unsurnya menjadi S, P, O, PEL, dan KET, dan dalam analisis kategorial telah dijelaskan bahwa fungsi S terdiri dari N. fungsi P terdiri dari N, V, Bil, FD, fungsi O terdiri dari N, fungsi PEL terdiri dari N, V, Bil, dan fungsi KET terdiri dari Ket, FD, N, V.
Fungsi-fungsi itu disamping terdiri dari kategori-kategori kata atau frase, juga terdiri dari makna-makna, yang sudah barang tentu makna satu fungsi yang lain, Misalnya :
  1. Aku  menemani anakku di tempat tidur beberapa saat.
S          P                      O         KET 1             KET 2
Secara fungsional klausa kalimat di atas terdiri dari fungsi-fungsi S, P, O, KET1, KET2. Fungsi S terdiri dari kata aku yang termasuk golongan N, fungsi P terdiri dari kata menemani yang termasuk kategori V, fungsi O terdiri dari unsur anakku yang termasuk kategori N, fungsi KET1 terdiri dari frase di tempat tidur yang termasuk golongan FD, dan fungsi KET2 terdiri dari frase beberapa saat yang termasuk kategori N. Karena terdapat dua KET, maka di sini disebut KET1 dan KET2.
Di bidang makna S klausa kalimat di atas menyatakan makna pelaku (Pel), ialah yang melakukan tindakan, P menyatakan makna tindakan (Tind), O menyatakan makna penderita (Pend), ialah yang menderita akibat tindakan, KET1 menyatakan makna tempat (Temp), dan KET2 menyatakan makna waktu (W).

Penggolongan Klausa Berdasarkan Struktur Internnya
Di awal sudah dijelaskan bahwa klausa terdiri dari unsur inti S dan P. Meskipun S merupakan unsur inti, namun sering juga dibuangkan, misalnya dalam kalimat luas sebagai akibat penggabungan klausa, dan dalam kalimat jawaban. Karena itu, unsur yang selalu ada pada klausa ialah P. Klausa yang terdiri dari S dan P di sini disebut klausa lengkap, sedangkan klausa yang tidak ber-S di sini disebut klausa tak lengkap.
Berdasarkan struktur internnya, klausa lengkap dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu klausa lengkap yang S-nya terletak di depan P, dan klausa lengkap yang S-nya terletak di belakang P. Yang pertama disebut klausa lengkap susun biasa, misalnya :
  1. Badan orang itu sangat besar.
  2. Para tamu masuklah ke ruang tamu.
dan yang kedua di sini disebut klausa lengkap susun balik atau klausa intervensi, misalnya :
1.1  sangat besar badan orang itu.
1.2  Masuklah para tamu ke ruang tamu.
Dalam klausa-klausa (1, 2, 1.1, dan 1.2) di atas badan orang itu menduduki fungsi S, sangat besar menduduki fungsi P, para tamu menduduki fungsi S, masuklah menduduki fungsi P, dan ke ruang tamu menduduki fungsi KET.
Klausa tak lengkap sudah tentu hanya terdiri dari unsur P, disertai O, PEL, KET, atau tidak. Misalnya :
  1. sedang bermain-main
  2. menulis surat
  3. telah berangkat ke Jakarta
Perlu dikemukakan di sini bahwa contoh-contoh di atas tidak dimulai dengan huruf capital dan tidak diakhiri dengan tanda baca karena contoh-contoh itu tidak merupakan kalimat. Demikian pula seterusnya, contoh yang tidak merupakan kalimat tidak dimulai dengan huruf capital dan tidak diakhiri dengan tanda baca.

Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra


SECARA estimologis komuniksai berarti hubungan. Pada dasarnya seluruh aktifitas kehidupan dienergasikan oleh sistem hubungan, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Menurut Segers (1978: 24-25) komunukasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Duncan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni. Salah satu cirri karya sastra yang sangat penting dengan demikian adalah fungsinya sebagai system komunikasi. Benar karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreatifitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan  untuk menyampaikan sustu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a) interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan c) mekanisme teknologi. Komunikasi novel, misalnya, di samping dilakukan melalui interaksi tokoh-tokoh, jelas mengandung komunikasi bahasa tulis, bahkan teknologi, sebab tulisan adalah hasil suatu teknologi.
Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah, baik sebagai anggota masyarakat maupun semata-mata sebagai subjek creator, jelas memberikan sumbangan tertentu dalam kaitanya dengan system komunikasi sastra. Karya sastra adalah system komunikasi sebab setiap unit wacana berhubungan dan dapat dihubungkan dengan wacana lain dari semestaan yang lain.
6. 1 Ciri-ciri Anatomitas Pengarang.
Dalam sejarah kebudayaan, aspek kepengarangan, baik sebagai ilmuwan maupun seniman, bahkan dalam bentuk apaun yang melibatkan aktivitas mencipta, jelas memegang perangan penting. Melalui kepengaranganlah terjadi penemuan yang dengan sendirinya diikuti dengan kemajuan dalam berbagai bidang. Kualitas manusia berpikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas maunis bercerita. Komunikasi mengalami stagnasi sebab timbul factor-faktor elementer yang terlalikan, bahkan dengan sengaja dihapuskan, yang justru merupakan energy dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bercerita, manusia mengarang yang terjadi katalisator antarindividu, merupakan salah satu aspek yang terlupakan tersebut.
            Sebagai kritikus memandang bahwa dunia kepengarangan merupakan pembicaraan yang sudah kuno dan using. Pernyatan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa karya seni telah hadir sejak manusia mulai melakukan ekpresi diri, sebagai perwujudan terjadinya komunikasi, khususnya terhadap hakikat supernatural. Menurut Plato, pengarang hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Perkembangan kapitalisme, adanya pembagian kerja menyebabkan pengarang beralih dan merupakan bagian dari dunia penerbitan, sebagai bagian modernisasi.
Dalam kritik sastra konteporer, pembicaraan mengenai subjek pengarang menjadi actual kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Secara factual pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan. Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Dengan kalimat lain, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, status social pengarang termasuk kedalam kelas menengah ke atas. Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Pengarang jenius akan menghasilkan suprakarya, sedangkan pengarang kelas dua akan menghasilkan karya biasa, bahkan karya picisan.
Sebagai gejala universal, fungsi dan kedudukan pengarang sama, baik kapasitasnya sebagai subjek creator maupun pola-pola hubungannya dengan masyarakat luas, baik di dunia Barat maupun di dunia timur, khususnya Indonesia. Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Abad pertama hingga abad ke-16 dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada    eskpresi dan emosi.
2) Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, penarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta.
3) Abad Renaissance (1400-1700) pengarang sebagai creator mulai dihargai.
4) Abad ke-18-19 pengarang sebagai creator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada masa Pujangga Baru.
5) Abad ke-20 pangarang disembunyikan di balik fokalisasi, penarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimis.
            Dilihat dari segi tanggung jawabnya, tugas ilmuwan dan seniman pada dasarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sebagai tanggung jawab moral. Terdapat perbedaan hubungan antara ilmuwan dengan hasil temuannya dibandingkan dengan hubungan antara pengarang dengan hasil karyanya. Sebagai subjek creator, kondisi pengarang dalam memberikan arti terhadap karya yang dihasilkannya juga dipermasalahkan. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch, Juhl (1980: 27) membedakan antara arti (meaning) dan makna (significance). Arti adalah nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang disebut sebagai pesan penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada situasi pembaca.
Anonimitas sastra lama memiliki implikasi lain. Cerita bias diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain, sebab penceritaan kembali merupakan karya sastra baru. Atas dasar anonimitaslah suatu cerita dapat menyebar secara cepat dan luas, atas dasar anonimitas juga karya sastra dapat dinikmati secara intens sebab setiap karya adalah sekaligus milik pengarang dan pendengar.
Peranan pendidikan dalam mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang harus disertai dengan ketrampilan menulis, jadi, dilakukan setelah usia dewasa. Ciri khas dunia karang-mengarang terletak pada kemampuan berbahasa sebab sebagai medium karya sastra, berbeda dengan medium karya seni yang lain, seperti seni lukis dan seni rupa, termasuk seni suara, dalam bahasa telah terkandung problematika yang sangat rumit.  

Hubungan antara Semantik,Etimologi,Morfologi,Leksikologi


Semantik  ialah Bidang ilmu bahasa yang secara khusus menganalisis arti atau makna kata
Etimologi ialah ilmu yang membicarakan tentang pembentukan atau terbentuknya kata atau asal-usul yang tidak berkaidah, misalnya, kata morfologi berasal dari kata Morf  yang berarti ‘bentuk’ dan kata logi berarti ‘ilmu’. Jadi secara harafiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk.
Morfologi ialah Bidang ilmu bahasa yang mempelajari proses pembentukan kata secara gramatikal  beserta unsur-unsur dan bentuk - bentuk kata.
Leksikologi adalah ilmu mengenai leksikon yang satuanya disebut leksem.

Jadi kesimpulannya
Karena sebagai ilmu yang mengambil salah satu bagian dari kebahasaan, tentu saja    morfologi mempunyai hubungan dengan ilmu kebahasan lainnya,seperti leksikologi dan etimologi.
Adapun berbedaannya yaitu : bahwa morfologi adalah ilmu tentang bentuk dan pembentukan kata, sedang leksikologi adalah ilmu mengenai leksikon yang satuanya disebut leksem. Morfologi lebih mengarah pada masalah proses pembentukan kata; sedang leksikologi lebih mengarah pada kata yang sudah jadi, baik yang terbentuk secara arbiter, maupun yang terbentuk sebagai hasil proses morfologi. Dan dalam hal semantik, kalau morfologi membicarakan makna gramatikal, maka leksikologi membicarakan makna leksikal dengan berbagai aspek dan masalahnya. Sedangankan etimologi membicarakan tentang pembentukan atau terbentuknya kata atau asal-usul yang tidak berkaidah, misalnya, kata morfologi berasal dari kata Morf  yang berarti ‘bentuk’ dan kata logi berarti ‘ilmu’. Jadi secara harafiah kata morfologi berarti ilmu mengenai bentuk.