Labels

Tuesday, April 17, 2012

Bila Malam Bertambah Malam: Lepasnya Topeng Kemunafikan

Bila Malam Bertambah Malam

Novel ini menceritakan seorang janda yang begitu membanggakan kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan suaminya dengan dilayani dua pembantu: seorang lelaki tua bernama Wayan, dan seorang wanita
muda bemama Nyoman Niti. Pada puncak pertengkaran dengan majikan, Wayan meninggalkan tempat ia mengabdi, setelah Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya terhalang mendengar pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru dating dari Pulau Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan, terbukalah rahasia keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena suami Gusti Biang, yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati. Bahkan suami yang selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang pengkhianat, sebab ia adalah mata-mata Nica.

Dari segi konvensi sastra realis, novel ini dikemas dalam struktur yang kokoh rapi. Teknik menampilkan rangkaian peristiwa atau pengalnran, menggunakan alur lurus, bagian-bagiannya tersusun sempurna: awal, tikaian, gawatan, puncak, leraian, dan akhir, memiliki padanan yang kokoh. Mula-mula pembaca dikenalkan dengan kebanggaan seorang janda bangsawan yang sedang menanti putranya datang dari Pulau Jawa. Bagi penduduk luar Pulau Jawa, lebih-lebih pada saat karya ini ditulis - yaitu pada tahun 1964 - Pulau Jawa mempunyai konotasi tersendiri bagi sebuah kebanggaan ilmiah, karena Pulau Jawa dianggap pusat orang menimba ilmu. Oleh karena itu, meskipun dikatakan bahwa anak janda itu tidak berhasil menyelesaikan pelajarannya, seseorang yang pernah menginjakkan kakinya di unversitas di Pulau Jawa tetap dianggap hebat. Gusti Biang pun tak luput dari pandangan tersebut, terbukti dari kata-katanya kepada Wayan:
    "Sekarang ia pasti sudah sebesar ayahnya dan sekuat sapi jantan. Dan jauh di sana mempelajari buku-buku tebal yang tidak sembarang orang bisa baca.
                                    (BMBM, 1971: 12)
    Sebelum itu, dengan manisnya pencerita menyisipkan pembayangan dalam lukisan Wayan yang sedang menembang.
    Sayup-sayup terdengar suara lelaki tua menerbangkan (sic! — menembangkan?) tembang Semarandhana dari arah gudang. Tembang yang mengisahkan cinta yang    tak sampai, yang telah menjadi luka sarat.
                                    (BMBM, 1971: 7)
    Luka sarat akibat cinta tak sampai yang ditembangkan Wayan itu akan menyinggahi hati pembaca dengan pertanyaan: adakah kisah di balik tembang itu, ataukah suatu kebetulan saja Wayan menembangkan cinta tak sampai? Dugaan pada adanya kisah di balik tembang semakin tajam dalam kalimat selanjutnya:"Dinyanyikan dengan suara serak dan sumbang, tetapi penuh pendaman perasaan." (h.7).
    Pembayangan itu disambung dengan pembayangan lain dalam jarak dekat, tetapi tidak terlalu mencurigakan. Sebab sambungan tersebut terwujud dalam bentakan Gusti Biang yang seolah menghina tampang Wayan yang tua bangka dan kepura-puralinglungan Wayan yang disambung komentar pencerita.
    Wayan paham akan kelinglungannya, berbalik kembali dengan kemalu-maluan. Hanya dia yang tahu apakah polahnya itu dibuatnya karena memang sudah linglung atau kepura-puraan orang tua yang saling memanjakan.
                                   (BMBM, 1971: 13)
    Jelaslah bahwa kepura-puralinglungan Wayan sebenarnya adalah untuk memanjakan Gusti Biang. Mengapa? Penafsiran biasa akan mengatakan: karena merasa senasib, sama-sama tua. Akan tetapi, ternyata semua pembayangan itu bukan tanpa maksud meskipun dengan pandainya pencerita segera menutupnya kembali dengan kerewelan-kerewelan, kenyinyiran, dan kekerasan hatijanda tersebut. Kebawelan seorang tua yang dijiwai oleh semangat kebangsawanan, sangat menonjol ketika ia dibujuk oleh Nyoman untuk meminum jamu dan obat-obatan.
    "Aku tidak peduli!" tukas Gusti Biang kembali.
   "Apa kerjamu di sini?"
   Dengan merendahkan diri, berkata sehalus mungkin, Nyoman menjelaskan:
   "Bukankah sekarang sudah saatnya Gusti Biang minum obat?"
   "Hari ini aku tak mau minum obat!" teriak Gusti Biang dengan beringas.
                                    (BMBM, 1971:23)
    "Tikaian" itu sendiri disisipkan sedikit demi sedikit bersama "awal"-nya ketika Nyoman bertanya pada Wayan, "Icang dengar banyak orang pulang dari Jawa. Benar?", yang dijawab oleh Wayan "Ah? Siapa?" Tanya Wayan lebih heran. Tapi, setelah berpikir kemudian menyesali kebodohannya, mengeluh dengan tersenyum. "Oh, Ratu Ngurah?" (h.9), dan disusul lukisan pipi Nyoman yang kemerahan. Hal tersebut sudah membayangkan persoalan: kalau seorang pembantu tampak mempunyai "rasa" kepada anak majikan, maka selain status sosial, sebuah novel yang berlatar Bali pasti akan menghadapi masalah kasta. Lebih-lebih karena cinta pembantu itu bukan cinta sepihak, terbukti ketika Nyoman akan pergi dari rumah itu karena diusir oleh Gusti Biang, Wayan bertanya, "Apa yang mesti Bapa katakan, kalau dia datang dan menanyakan: Di mana Nyoman, Bapa, apa yang akan Bapajawab?" (h. 49).
    "Tikaian" itu menjadi nyata dalam pertengkaran antara ibu dan anak. Ngurah bermaksud meminta restu untuk menikahi Nyoman, tetapi sang ibu menolak kecuali kalau hanya diambil sebagai selir. "Tikaian" bergerak ke arah "gawatan" ketika si ibu menantang Ngurah untuk mengikuti dua pembantu yang telah diusirnya. "Gawatan" semakin menanjak dalam persoalan bedil: Gusti Biang meminta Wayan meninggalkan bedil yang dibawanya pergi, karena bedil itu diberikan dokter yang mengambil peluru yang bersarang di tubuh I Gusti Ngurah Ketut - suami Gusti Biang - sedang Wayan menganggap bahwa itu bedilnya. Dari masalah bedil itu keadaan menjadi gawat karena perasaan Ngurah menjadi tidak senang terhadap Wayan yang mula-mula tertawa sinis ketika Gusti Biang mengatakan bahwa suaminya ditembak Nica. Bedil itulah yang digunakan untuk menembak; karena itu suaminya dianggap sebagai pahlawan sejati. Dari perasaan tidak senang, Ngurah menjadi terbanting ketika Wayan berkata,
    "Semua pahlawan mati karena tertembak Nica. Tetapi dia tidak! Dia I Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukan seorang pahlawan. Dia mati ditembak gerilya sebagai pengkhianat!"
                                  (BMBM, 1971: 96)

"Gawatan" terus menanjak ketika Wayan mengungkapkan bahwa "ayah" Ngurah adalah mata-mata Nica. Oleh karena itu, Ngurah menganggap Wayan sebagai musuh dalam selimut, dan meminta Wayan mencabut kata-katanya.
    Dalam "gawatan" ini, pencerita sangat mahir merentang dan mengendorkan benang ketegangan. Sebentar keadaan seperti akan kendor dengan kepatahan semangat Wayan: ia menuruni undakan sebagai rajawali tua yang kalah. Akan tetapi, kemudian ia tertegun, dan mulailah benang ditegangkan kembali: Wayan tetap meminta bedil itu, sebab bedil itu miliknya. Namun, Ngurah tetap memegang bedil itu erat-erat dan meminta bukti bahwa ayahnya memang pengkhianat.
    Penyelesaian masalah tidak mudah, sebab berat bagi Wayan mengemukakan kenyataan yang sebenar-nya. Ia dilanda konflik batin. Ternyata ia sendirilah "suami"  Gusti Biang. Pengakuan tersebut sudah barang tentu menimbulkan ketegangan lagi karena Gusti Biang menjadi kalap. "Gawatan" mencapai titik "puncak" ketika Wayan membuka rahasia keberadaan Ngurah: Wayanlah ayah kandung Ngurah, sebab suami Gusti Biang wangdu. Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas.
     Cerita berakhir dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah - Nyoman, dan pasangan tersembunyi Mirah - Wayan. Tenyata motivasi pengabdian dalam keluarga itu adalah agar ia selalu dapat menjaga orang yang dikasihinya, demikian pula motivasi Nyoman. Tanpa motivasi tersebut, mereka sudah lama tidak kuat berdiam di puri tua itu.
     Di samping alur yang rapi, penokohan pun juga demikian. Dialog yang ada disusun cermat, menunjukkan watak tokoh masing-masing dan menyiratkan sifat atau watak tokoh lawan bicara. Dialog antara Gusti Biang dan Wayan, juga Gusti Biang dan Nyoman Niti, menunjukkan betapa nyinyir dan angkuhnya janda bangsawan itu, demikian pula dialognya dengan anaknya, Ngurah. Sebaliknya, dari dialog tersebut juga tercermin sifat lawan bicara Gusti Biang: Wayan yang penyabar, demikian pula Nyoman Niti, juga Ngurah yang memiliki kepribadian yang kokoh namun tetap rendah hati dan hormat kepada orang tua, walaupun orang tuanya sangat menjengkelkan. Dari dialog Ngurah dan Wayan, tercermin kasih anak muda itu kepada lelaki tua yang ada di rumah itu, dan sebaliknya. Kedua hal itu tetap tercermin walau dalam dialog yang panas.
    "Kenapa Bapa bilangAyah saya pengkhianat?" tanyanya dengan panas. "Kenapa, Bapa Wayan? Membeo kata orang-orang yang iri hati? Alangkah piciknya kalau Bapa   yang telah bertahun-tahun di sini sampai ikut merusak nama keluarga kami! Kenapa Bapa?"
                                   (BMBM, 1971: 97)
 "Tariklah kata-kata itu, Bapa. Demijasa-jasa Bapa yang telah bekerja di sini selama bertahun-tahun, saya akan bersedia melupakannya. Minta maaflah atas kekeliruan itu kepada Ibu."
                                     (BMBM, 1971: 99)
    Kaitan latar dengan unsur-unsur struktur lain juga kokoh, lebih-lebih karena latar pun seolah bernyawa: ia seolah-olah juga tokoh yang ikut mengekspresikan perasaannya terhadap tokoh. Tembok tua puri misalnya, bukan saja sebagai tembok yang secara fisik tua, tetapi sekaligus juga melambangkan batas antara dunia kepurian dan dunia luar, antara kasta yang lebih tinggi dengan kasta yang lebih rendah. Gusti Biang mempertahankan mati-matian tembok tua itu karena baginya tembok itu adalah lambang kewibawaan, sisa-sisa masa mudanya yang bermartabat. Dengan tembok itu ia merasa aman dalam dunia lapuknya meskipun ia sadar bahwa tembok itu seperti "pengawal tua yang sebentar lagi tak mampu menjalankan tugasnya". Banyak perbandingan dan metafora yang digunakan untuk menunjukkan keadaan dan fungsi tembok itu. Bahwa ia tua, dilukiskan "seperti seekor binatang kelesuan yang tersengal menantikan tenaganya bangkit" (h. 19). Bahwa ia membatasi dunia puri yang lapuk dengan dunia luar, dilukiskan "seperti cadar yang menutupi air muka seorang gadis" (h. 19). Bahwa tembok itu seolah bernyawa sehingga ia mengekspresikan perasaannya untuk seorang tokoh terhadap suatu kejadian, tampak ketika Gusti Biang mengeluh tentang kelakuan Wayan yang menghina suaminya dan menghasut anaknya, tembok tua itu seolah mengejeknya "Sekarang dalam kesuramannya tembok tua seolah tersenyum" (h. 70). Bahkan pada suatu saat, ketika jelas bahwa anaknya bermaksud menikahi pembantunya, maka "tembok itu  tidak saja tersenyum mengejeknya, tetapi terbahak  meludahi mukanya" (h. 80).
    Bukan saja kepada janda tua tembok itu tersenyum sinis, melainkan juga kepada Ngurah. Ketika ia ditantang ibunya untuk mengikuti Nyoman dan Wayan, tembok tua itujuga tersenyum kepadanya (h. 86). Tembok itu sekaligus juga penonton drama rumah tangga itu. Penonton yang tampaknya kadang-kadang plinplan, karena ia pun juga bersorak ketika Wayan menuruni undakan setelah diusir Ngurah dengan bentakan, "Pergi!"
    Sebenamya, tersenyum tidaknya tembok itu, bersorak tidaknya, tergantung dari mata si pemandang. Tembok itu sebenarnya hanya menggemakan situasi hati tokoh: ia kelihatan tersenyum mengejek ketika si tokoh merasakan kepahitan dalam kesendirian, terpencil dengan keadaan hatinya. Atau ia sekaligus menggemakan hati tokoh, terbukti ia kelihatan bersorak karena waktu itu hati tokoh juga sedang bersorak: tembok itu bersorak ketika hati janda bangsawan itu sedang bersorak penuh kemenangan melihat Wayan dengan punggungnya yang tua semakin membungkuk menuruni undakan. Ketika rahasia Gusti Biang hendak diungkapkan Wayan, pandangannya pun juga lari ke tembok yang pada perasaannya banyak tersenyum itu. Ketika topeng Gusti Biang terbuka dan ia "kembali" sebagai Sagung Mirah yang masih belia dan cantik meratapi cintanya yang tak sampai, temyata tembok itu dilukiskan "tak berani lagi tersenyum kepada siapa saja" (h. 105). Mengapa? Karena tembok keangkuhan Gusti Biang sudah runtuh, sehingga tembok tua itu pun harus runtuh pula. Kaitan tokoh dengan latar juga tampak dalam pelukisan: ketika manusia tidur, alam pun dilukiskan tidur. Sore hari, pohon sawo yang kekar dilukiskan "tampak mengantuk" (h. 3), dan malam hari ia tampak "sebagai raksasa tidur" (h. 47).
    Lukisan atas latar tempat - yaitu Tabanan— teliti, termasuk latar sosialnya. Dilukiskan kebiasaan penduduk kota kecil itu: lebih senang tinggal di rumah pada waktu malam hari, atau nongkrong di perempatan mengerumuni perawan-perawan penjual rujak. Pada malam kedatangan Ngurah, anak-anak mencuri kapur untuk membuat garis-garis plaksodor, pemuda-pemuda bergerombol keluar memakai sarung menyusuri jalan kota dan kemudian berkerumun di sekitar I Seruni penjual rujak, atau I Simpen penjual kolak. Dari latar sosial itu muncul tembang yang sayup-sayup ditembangkan seseorang, berkaitan dengan judul cerita.
    Bila malam bertambah malam
  dan kau bercinta di tilam pengantinmu.
   Di kolong tidurku hanya jengkerik mendering.
   Wahai, bagai menyindir kepapaanku.
   Ke mana raibnya Dewi peruntungan.
   Pergi di tengah malam membawa cintaku.
                                   (BMBM, 1971: 72)
    Tembang itu kemudian disambung temannya:
   Bila malam bertambah malam,
   tiada madu lagi dalam impianku Nyoman,
   Gusti! Perawan berdada gempal meratapi untungnya.
   Wahai, teringat buah hatiku, buah hatiku.
   Telah beranak satu lusin nun di sana.
   Entah kapan datangjodoh lagi untukku seorang.
                                  (BMBM, 1971: 72 - 3)
   Isi tembang yang selalu diawali dengan bans yang sesuai dengan judul itu juga sesuai dengan isi novel itu sendiri: seseorang yang ditinggal menikah kekasihnya,  seseorang yang patah cinta, seperti yang dialami Wayan ketika muda dahulu. Dengan demikian, latar sosial pun tidak lepas dari judul cerita. Bedanya, malam yang  semakin bertambah malam dalam novel ini berakhir dengan teriepasnya topeng-topeng yang membuat para pelakunya menemukan kebahagiaan. Gusti Biang berhasil menemukan dirinya kembali.
     Dilihat dari segi psikoanalisa, kepura-puraannya selama itu, yaitu sikap garangnya kepada Wayan sebenarnya adalah bentuk ekspresi cintanya yang tertindas karena perbedaan kasta. Sebab meskipun Ngurah adalah anaknya dengan lelaki yang dicintainya, dalam bercinta pun ia tetap memasang topengnya: pura- pura tidak tahu siapa lelaki yang selalu tidur dengan dia. Dengan demikian, cinta Gusti Biang yang tidak dapat disalurkan dalam kehidupan sehari-hari, mengejawantah ke dalam bentuk bentakan-bentakan kepada orang yang dicintainya. Lebihjauh, kerelaan untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda kasta bukan semata-mata karena hatinya telah terbuka, melainkan sekaligus sebagai penyalur keinginan-keinginannya sendiri yang tidak sampai.
 Diambil dari Karya-Karya Putu Wijaya: Perjalanan Pencarian Diri,   Th. Sri Rahayu Prihatmi
 

No comments:

Post a Comment