Novel ini menceritakan seorang janda yang begitu membanggakan
kebangsawanannya. Ia hidup di rumah peninggalan suaminya dengan dilayani dua
pembantu: seorang lelaki tua bernama Wayan, dan seorang wanita muda bemama
Nyoman Niti. Pada puncak pertengkaran dengan majikan, Wayan meninggalkan tempat
ia mengabdi, setelah Nyoman pergi mendahuluinya. Akan tetapi, kepergiannya
terhalang mendengar pertengkaran janda bangsawan itu dengan anaknya yang baru dating
dari Pulau Jawa, Ngurah. Karena persoalan bedil yang dibawa Wayan, terbukalah
rahasia keluarga itu. Wayan sebenarnya adalah ayah Ngurah, karena suami Gusti Biang,
yaitu Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukanlah lelaki sejati. Bahkan suami yang
selalu dibanggakan sebagai pahlawan itu sebenarnya seorang pengkhianat, sebab
ia adalah mata-mata Nica.
Dari segi konvensi sastra realis, novel ini dikemas dalam
struktur yang kokoh rapi. Teknik menampilkan rangkaian peristiwa atau
pengalnran, menggunakan alur lurus, bagian-bagiannya tersusun sempurna: awal, tikaian,
gawatan, puncak, leraian, dan akhir, memiliki padanan yang kokoh. Mula-mula
pembaca dikenalkan dengan kebanggaan seorang janda bangsawan yang sedang
menanti putranya datang dari Pulau Jawa. Bagi penduduk luar Pulau Jawa,
lebih-lebih pada saat karya ini ditulis - yaitu pada tahun 1964 - Pulau Jawa mempunyai
konotasi tersendiri bagi sebuah kebanggaan ilmiah, karena Pulau Jawa dianggap
pusat orang menimba ilmu. Oleh karena itu, meskipun dikatakan bahwa anak janda
itu tidak berhasil menyelesaikan pelajarannya, seseorang yang pernah
menginjakkan kakinya di unversitas di Pulau Jawa tetap dianggap hebat. Gusti
Biang pun tak luput dari pandangan tersebut, terbukti dari kata-katanya kepada
Wayan:
"Sekarang ia pasti sudah sebesar
ayahnya dan sekuat sapi jantan. Dan jauh di sana mempelajari buku-buku tebal yang tidak
sembarang orang bisa baca.
(BMBM,
1971: 12)
Sebelum itu,
dengan manisnya pencerita menyisipkan pembayangan dalam lukisan Wayan yang
sedang menembang.
Sayup-sayup terdengar suara lelaki tua
menerbangkan (sic! — menembangkan?) tembang Semarandhana dari arah gudang.
Tembang yang mengisahkan cinta yang tak sampai, yang telah menjadi luka sarat.
(BMBM, 1971: 7)
Luka sarat
akibat cinta tak sampai yang ditembangkan Wayan itu akan menyinggahi hati
pembaca dengan pertanyaan: adakah kisah di balik tembang itu, ataukah suatu
kebetulan saja Wayan menembangkan cinta tak sampai? Dugaan pada adanya kisah di
balik tembang semakin tajam dalam kalimat selanjutnya:"Dinyanyikan dengan
suara serak dan sumbang, tetapi penuh pendaman perasaan." (h.7).
Pembayangan
itu disambung dengan pembayangan lain dalam jarak dekat, tetapi tidak terlalu mencurigakan.
Sebab sambungan tersebut terwujud dalam bentakan Gusti Biang yang seolah
menghina tampang Wayan yang tua bangka dan kepura-puralinglungan Wayan yang disambung
komentar pencerita.
Wayan paham akan kelinglungannya, berbalik
kembali dengan kemalu-maluan. Hanya dia yang tahu apakah polahnya itu dibuatnya
karena memang sudah linglung atau kepura-puraan orang tua yang saling
memanjakan.
(BMBM, 1971:
13)
Jelaslah
bahwa kepura-puralinglungan Wayan sebenarnya adalah untuk memanjakan Gusti
Biang. Mengapa? Penafsiran biasa akan mengatakan: karena merasa senasib,
sama-sama tua. Akan tetapi, ternyata semua pembayangan itu bukan tanpa maksud
meskipun dengan pandainya pencerita segera menutupnya kembali dengan kerewelan-kerewelan,
kenyinyiran, dan kekerasan hatijanda tersebut. Kebawelan seorang tua yang dijiwai
oleh semangat kebangsawanan, sangat menonjol ketika ia dibujuk oleh Nyoman
untuk meminum jamu dan obat-obatan.
"Aku tidak peduli!" tukas Gusti
Biang kembali.
"Apa kerjamu di sini?"
Dengan merendahkan diri, berkata sehalus
mungkin, Nyoman menjelaskan:
"Bukankah sekarang sudah saatnya Gusti
Biang minum obat?"
"Hari ini aku tak mau minum obat!"
teriak Gusti Biang dengan beringas.
(BMBM, 1971:23)
"Tikaian" itu sendiri disisipkan sedikit demi sedikit bersama
"awal"-nya ketika Nyoman bertanya pada Wayan, "Icang dengar
banyak orang pulang dari Jawa. Benar?", yang dijawab oleh Wayan "Ah?
Siapa?" Tanya Wayan lebih heran. Tapi, setelah berpikir kemudian menyesali
kebodohannya, mengeluh dengan tersenyum. "Oh, Ratu Ngurah?" (h.9),
dan disusul lukisan pipi Nyoman yang kemerahan. Hal tersebut sudah membayangkan
persoalan: kalau seorang pembantu tampak mempunyai "rasa" kepada anak
majikan, maka selain status sosial, sebuah novel yang berlatar Bali pasti akan menghadapi masalah kasta. Lebih-lebih
karena cinta pembantu itu bukan cinta sepihak, terbukti ketika Nyoman akan
pergi dari rumah itu karena diusir oleh Gusti Biang, Wayan bertanya, "Apa
yang mesti Bapa katakan, kalau dia datang dan menanyakan: Di mana Nyoman, Bapa,
apa yang akan Bapajawab?" (h. 49).
"Tikaian" itu menjadi nyata dalam pertengkaran antara ibu dan
anak. Ngurah bermaksud meminta restu untuk menikahi Nyoman, tetapi sang ibu
menolak kecuali kalau hanya diambil sebagai selir. "Tikaian" bergerak
ke arah "gawatan" ketika si ibu menantang Ngurah untuk mengikuti dua
pembantu yang telah diusirnya. "Gawatan" semakin menanjak dalam
persoalan bedil: Gusti Biang meminta Wayan meninggalkan bedil yang dibawanya
pergi, karena bedil itu diberikan dokter yang mengambil peluru yang bersarang
di tubuh I Gusti Ngurah Ketut - suami Gusti Biang - sedang Wayan menganggap
bahwa itu bedilnya. Dari masalah bedil itu keadaan menjadi gawat karena
perasaan Ngurah menjadi tidak senang terhadap Wayan yang mula-mula tertawa
sinis ketika Gusti Biang mengatakan bahwa suaminya ditembak Nica. Bedil itulah
yang digunakan untuk menembak; karena itu suaminya dianggap sebagai pahlawan
sejati. Dari perasaan tidak senang, Ngurah menjadi terbanting ketika Wayan
berkata,
"Semua pahlawan mati karena tertembak
Nica. Tetapi dia tidak! Dia I Gusti Ngurah Ketut Mantri, bukan seorang
pahlawan. Dia mati ditembak gerilya sebagai pengkhianat!"
(BMBM, 1971: 96)
"Gawatan" terus menanjak ketika Wayan mengungkapkan
bahwa "ayah" Ngurah adalah mata-mata Nica. Oleh karena itu, Ngurah
menganggap Wayan sebagai musuh dalam selimut, dan meminta Wayan mencabut
kata-katanya.
Dalam
"gawatan" ini, pencerita sangat mahir merentang dan mengendorkan
benang ketegangan. Sebentar keadaan seperti akan kendor dengan kepatahan semangat
Wayan: ia menuruni undakan sebagai rajawali tua yang kalah. Akan tetapi,
kemudian ia tertegun, dan mulailah benang ditegangkan kembali: Wayan tetap meminta
bedil itu, sebab bedil itu miliknya. Namun, Ngurah tetap memegang bedil itu
erat-erat dan meminta bukti bahwa ayahnya memang pengkhianat.
Penyelesaian
masalah tidak mudah, sebab berat bagi Wayan mengemukakan kenyataan yang
sebenar-nya. Ia dilanda konflik batin. Ternyata ia sendirilah "suami"
Gusti Biang. Pengakuan tersebut sudah
barang tentu menimbulkan ketegangan lagi karena Gusti Biang menjadi kalap.
"Gawatan" mencapai titik "puncak" ketika Wayan membuka
rahasia keberadaan Ngurah: Wayanlah ayah kandung Ngurah, sebab suami Gusti
Biang wangdu. Wayanlah yang selalu memenuhi tugas sebagai suami bagi
istri-istri I Gusti Ngurah Ketut Mantri yang berjumlah lima belas.
Cerita
berakhir dengan kebahagiaan bagi semua: pasangan Ngurah - Nyoman, dan pasangan tersembunyi
Mirah - Wayan. Tenyata motivasi pengabdian dalam keluarga itu adalah agar ia
selalu dapat menjaga orang yang dikasihinya, demikian pula motivasi Nyoman. Tanpa
motivasi tersebut, mereka sudah lama tidak kuat berdiam di puri tua itu.
Di samping
alur yang rapi, penokohan pun juga demikian. Dialog yang ada disusun cermat, menunjukkan
watak tokoh masing-masing dan menyiratkan sifat atau watak tokoh lawan bicara.
Dialog antara Gusti Biang dan Wayan, juga Gusti Biang dan Nyoman Niti, menunjukkan
betapa nyinyir dan angkuhnya janda bangsawan itu, demikian pula dialognya
dengan anaknya, Ngurah. Sebaliknya, dari dialog tersebut juga tercermin sifat
lawan bicara Gusti Biang: Wayan yang penyabar, demikian pula Nyoman Niti, juga
Ngurah yang memiliki kepribadian yang kokoh namun tetap rendah hati dan hormat
kepada orang tua, walaupun orang tuanya sangat menjengkelkan. Dari dialog
Ngurah dan Wayan, tercermin kasih anak muda itu kepada lelaki tua yang ada di
rumah itu, dan sebaliknya. Kedua hal itu tetap tercermin walau dalam dialog
yang panas.
"Kenapa Bapa bilangAyah saya
pengkhianat?" tanyanya dengan panas. "Kenapa, Bapa Wayan? Membeo kata
orang-orang yang iri hati? Alangkah piciknya kalau Bapa yang telah bertahun-tahun di sini sampai ikut
merusak nama keluarga kami! Kenapa Bapa?"
(BMBM, 1971:
97)
"Tariklah kata-kata
itu, Bapa. Demijasa-jasa Bapa yang telah bekerja di sini selama bertahun-tahun,
saya akan bersedia melupakannya. Minta maaflah atas kekeliruan itu kepada
Ibu."
(BMBM,
1971: 99)
Kaitan latar
dengan unsur-unsur struktur lain juga kokoh, lebih-lebih karena latar pun
seolah bernyawa: ia seolah-olah juga tokoh yang ikut mengekspresikan perasaannya
terhadap tokoh. Tembok tua puri misalnya, bukan saja sebagai tembok yang secara
fisik tua, tetapi sekaligus juga melambangkan batas antara dunia kepurian dan
dunia luar, antara kasta yang lebih tinggi dengan kasta yang lebih rendah.
Gusti Biang mempertahankan mati-matian tembok tua itu karena baginya tembok itu
adalah lambang kewibawaan, sisa-sisa masa mudanya yang bermartabat. Dengan
tembok itu ia merasa aman dalam dunia lapuknya meskipun ia sadar bahwa tembok
itu seperti "pengawal tua yang sebentar lagi tak mampu menjalankan
tugasnya". Banyak perbandingan dan metafora yang digunakan untuk menunjukkan
keadaan dan fungsi tembok itu. Bahwa ia tua, dilukiskan "seperti seekor
binatang kelesuan yang tersengal menantikan tenaganya bangkit" (h. 19).
Bahwa ia membatasi dunia puri yang lapuk dengan dunia luar, dilukiskan
"seperti cadar yang menutupi air muka seorang gadis" (h. 19). Bahwa
tembok itu seolah bernyawa sehingga ia mengekspresikan perasaannya untuk
seorang tokoh terhadap suatu kejadian, tampak ketika Gusti Biang mengeluh
tentang kelakuan Wayan yang menghina suaminya dan menghasut anaknya, tembok tua
itu seolah mengejeknya "Sekarang dalam kesuramannya tembok tua seolah
tersenyum" (h. 70). Bahkan pada suatu saat, ketika jelas bahwa anaknya bermaksud
menikahi pembantunya, maka "tembok itu tidak saja tersenyum mengejeknya, tetapi
terbahak meludahi mukanya" (h. 80).
Bukan saja
kepada janda tua tembok itu tersenyum sinis, melainkan juga kepada Ngurah.
Ketika ia ditantang ibunya untuk mengikuti Nyoman dan Wayan, tembok tua itujuga
tersenyum kepadanya (h. 86). Tembok itu sekaligus juga penonton drama rumah
tangga itu. Penonton yang tampaknya kadang-kadang plinplan, karena ia pun juga
bersorak ketika Wayan menuruni undakan setelah diusir Ngurah dengan bentakan,
"Pergi!"
Sebenamya,
tersenyum tidaknya tembok itu, bersorak tidaknya, tergantung dari mata si
pemandang. Tembok itu sebenarnya hanya menggemakan situasi hati tokoh: ia
kelihatan tersenyum mengejek ketika si tokoh merasakan kepahitan dalam
kesendirian, terpencil dengan keadaan hatinya. Atau ia sekaligus menggemakan
hati tokoh, terbukti ia kelihatan bersorak karena waktu itu hati tokoh juga
sedang bersorak: tembok itu bersorak ketika hati janda bangsawan itu sedang bersorak
penuh kemenangan melihat Wayan dengan punggungnya yang tua semakin membungkuk
menuruni undakan. Ketika rahasia Gusti Biang hendak diungkapkan Wayan,
pandangannya pun juga lari ke tembok yang pada perasaannya banyak tersenyum
itu. Ketika topeng Gusti Biang terbuka dan ia "kembali" sebagai
Sagung Mirah yang masih belia dan cantik meratapi cintanya yang tak sampai,
temyata tembok itu dilukiskan "tak berani lagi tersenyum kepada siapa
saja" (h. 105). Mengapa? Karena tembok keangkuhan Gusti Biang sudah
runtuh, sehingga tembok tua itu pun harus runtuh pula. Kaitan tokoh dengan
latar juga tampak dalam pelukisan: ketika manusia tidur, alam pun dilukiskan tidur.
Sore hari, pohon sawo yang kekar dilukiskan "tampak mengantuk" (h.
3), dan malam hari ia tampak "sebagai raksasa tidur" (h. 47).
Lukisan atas
latar tempat - yaitu Tabanan— teliti, termasuk latar sosialnya. Dilukiskan
kebiasaan penduduk kota
kecil itu: lebih senang tinggal di rumah pada waktu malam hari, atau nongkrong
di perempatan mengerumuni perawan-perawan penjual rujak. Pada malam kedatangan
Ngurah, anak-anak mencuri kapur untuk membuat garis-garis plaksodor,
pemuda-pemuda bergerombol keluar memakai sarung menyusuri jalan kota dan kemudian
berkerumun di sekitar I Seruni penjual rujak, atau I Simpen penjual kolak. Dari
latar sosial itu muncul tembang yang sayup-sayup ditembangkan seseorang,
berkaitan dengan judul cerita.
Bila malam
bertambah malam
dan kau
bercinta di tilam pengantinmu.
Di kolong
tidurku hanya jengkerik mendering.
Wahai, bagai
menyindir kepapaanku.
Ke mana
raibnya Dewi peruntungan.
Pergi di
tengah malam membawa cintaku.
(BMBM, 1971:
72)
Tembang itu
kemudian disambung temannya:
Bila malam
bertambah malam,
tiada madu
lagi dalam impianku Nyoman,
Gusti!
Perawan berdada gempal meratapi untungnya.
Wahai,
teringat buah hatiku, buah hatiku.
Telah
beranak satu lusin nun di sana.
Entah kapan
datangjodoh lagi untukku seorang.
(BMBM, 1971:
72 - 3)
Isi tembang
yang selalu diawali dengan bans yang sesuai dengan judul itu juga sesuai dengan
isi novel itu sendiri: seseorang yang ditinggal menikah kekasihnya, seseorang yang patah cinta, seperti yang
dialami Wayan ketika muda dahulu. Dengan demikian, latar sosial pun tidak lepas
dari judul cerita. Bedanya, malam yang semakin bertambah malam dalam novel ini
berakhir dengan teriepasnya topeng-topeng yang membuat para pelakunya menemukan
kebahagiaan. Gusti Biang berhasil menemukan dirinya kembali.
Dilihat dari
segi psikoanalisa, kepura-puraannya selama itu, yaitu sikap garangnya kepada
Wayan sebenarnya adalah bentuk ekspresi cintanya yang tertindas karena
perbedaan kasta. Sebab meskipun Ngurah adalah anaknya dengan lelaki yang
dicintainya, dalam bercinta pun ia tetap memasang topengnya: pura- pura tidak
tahu siapa lelaki yang selalu tidur dengan dia. Dengan demikian, cinta Gusti
Biang yang tidak dapat disalurkan dalam kehidupan sehari-hari, mengejawantah ke
dalam bentuk bentakan-bentakan kepada orang yang dicintainya. Lebihjauh,
kerelaan untuk menikahkan anaknya dengan orang yang berbeda kasta bukan
semata-mata karena hatinya telah terbuka, melainkan sekaligus sebagai penyalur
keinginan-keinginannya sendiri yang tidak sampai.
Diambil dari Karya-Karya Putu Wijaya: Perjalanan
Pencarian Diri, Th. Sri Rahayu
Prihatmi
No comments:
Post a Comment