SECARA
estimologis komuniksai berarti hubungan. Pada dasarnya seluruh aktifitas
kehidupan dienergasikan oleh sistem hubungan, baik dengan tujuan positif maupun
negatif. Menurut Segers (1978: 24-25) komunukasi sastra lebih rumit
dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Duncan (1962: 56),
untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni. Salah satu cirri
karya sastra yang sangat penting dengan demikian adalah fungsinya sebagai system
komunikasi. Benar karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreatifitas,
sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan untuk menyampaikan sustu pesan kepada orang
lain, sebagai komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a)
interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan c) mekanisme
teknologi. Komunikasi novel, misalnya, di samping dilakukan melalui interaksi
tokoh-tokoh, jelas mengandung komunikasi bahasa tulis, bahkan teknologi, sebab
tulisan adalah hasil suatu teknologi.
Fluktuasi
peranan pengarang sepanjang sejarah, baik sebagai anggota masyarakat maupun
semata-mata sebagai subjek creator, jelas memberikan sumbangan tertentu dalam
kaitanya dengan system komunikasi sastra. Karya sastra adalah system komunikasi
sebab setiap unit wacana berhubungan dan dapat dihubungkan dengan wacana lain
dari semestaan yang lain.
6.
1 Ciri-ciri Anatomitas Pengarang.
Dalam sejarah kebudayaan, aspek kepengarangan, baik
sebagai ilmuwan maupun seniman, bahkan dalam bentuk apaun yang melibatkan
aktivitas mencipta, jelas memegang perangan penting. Melalui kepengaranganlah
terjadi penemuan yang dengan sendirinya diikuti dengan kemajuan dalam berbagai
bidang. Kualitas manusia berpikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara
keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas maunis bercerita.
Komunikasi mengalami stagnasi sebab timbul factor-faktor elementer yang
terlalikan, bahkan dengan sengaja dihapuskan, yang justru merupakan energy
dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bercerita, manusia mengarang yang terjadi
katalisator antarindividu, merupakan salah satu aspek yang terlupakan tersebut.
Sebagai
kritikus memandang bahwa dunia kepengarangan merupakan pembicaraan yang sudah
kuno dan using. Pernyatan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa karya seni
telah hadir sejak manusia mulai melakukan ekpresi diri, sebagai perwujudan
terjadinya komunikasi, khususnya terhadap hakikat supernatural. Menurut Plato,
pengarang hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang
dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Perkembangan kapitalisme, adanya
pembagian kerja menyebabkan pengarang beralih dan merupakan bagian dari dunia
penerbitan, sebagai bagian modernisasi.
Dalam kritik sastra konteporer, pembicaraan mengenai
subjek pengarang menjadi actual kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda.
Secara factual pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan.
Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Dengan kalimat lain, baik
dalam masyarakat tradisional maupun modern, status social pengarang termasuk
kedalam kelas menengah ke atas. Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama
seperti orang lain. Pengarang jenius akan menghasilkan suprakarya, sedangkan
pengarang kelas dua akan menghasilkan karya biasa, bahkan karya picisan.
Sebagai gejala universal, fungsi dan kedudukan
pengarang sama, baik kapasitasnya sebagai subjek creator maupun pola-pola
hubungannya dengan masyarakat luas, baik di dunia Barat maupun di dunia timur,
khususnya Indonesia. Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra barat
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1)
Abad pertama hingga abad ke-16 dengan diilhami oleh Longinus, memberikan
intensitas pada eskpresi dan emosi.
2)
Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, penarang sebagai
semata-mata meniru Maha Pencipta.
3)
Abad Renaissance (1400-1700) pengarang sebagai creator mulai dihargai.
4)
Abad ke-18-19 pengarang sebagai creator yang otonom, seniman mendewakan diri,
di Indonesia tampak pada masa Pujangga Baru.
5)
Abad ke-20 pangarang disembunyikan di balik fokalisasi, penarang tersirat,
bahkan pengarang dianggap sebagai anonimis.
Dilihat dari segi tanggung jawabnya,
tugas ilmuwan dan seniman pada dasarnya sama, yaitu membawa manusia pada
tingkat kehidupan yang lebih baik, sebagai tanggung jawab moral. Terdapat
perbedaan hubungan antara ilmuwan dengan hasil temuannya dibandingkan dengan
hubungan antara pengarang dengan hasil karyanya. Sebagai subjek creator,
kondisi pengarang dalam memberikan arti terhadap karya yang dihasilkannya juga
dipermasalahkan. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch, Juhl (1980: 27)
membedakan antara arti (meaning) dan
makna (significance). Arti adalah
nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai
sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang disebut
sebagai pesan penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada situasi
pembaca.
Anonimitas sastra lama memiliki implikasi lain.
Cerita bias diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain, sebab
penceritaan kembali merupakan karya sastra baru. Atas dasar anonimitaslah suatu
cerita dapat menyebar secara cepat dan luas, atas dasar anonimitas juga karya
sastra dapat dinikmati secara intens sebab setiap karya adalah sekaligus milik
pengarang dan pendengar.
Peranan pendidikan dalam mengarang disebabkan karena
aktivitas mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang harus disertai dengan
ketrampilan menulis, jadi, dilakukan setelah usia dewasa. Ciri khas dunia
karang-mengarang terletak pada kemampuan berbahasa sebab sebagai medium karya
sastra, berbeda dengan medium karya seni yang lain, seperti seni lukis dan seni
rupa, termasuk seni suara, dalam bahasa telah terkandung problematika yang
sangat rumit.
Ini menggunakan buku apa ya?
ReplyDelete