Labels

Friday, June 29, 2012

Teori-teori Komunikasi dalam Karya Sastra


SECARA estimologis komuniksai berarti hubungan. Pada dasarnya seluruh aktifitas kehidupan dienergasikan oleh sistem hubungan, baik dengan tujuan positif maupun negatif. Menurut Segers (1978: 24-25) komunukasi sastra lebih rumit dibandingkan dengan komunikasi mesin. Lebih jauh, menurut Duncan (1962: 56), untuk mempelajari komunikasi, kita mesti mempelajari seni. Salah satu cirri karya sastra yang sangat penting dengan demikian adalah fungsinya sebagai system komunikasi. Benar karya sastra dihasilkan melalui imajinasi dan kreatifitas, sebagai hasil kontemplasi secara individual, tetapi karya sastra ditujukan  untuk menyampaikan sustu pesan kepada orang lain, sebagai komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui : a) interaksi sosial, b) aktivitas bahasa (lisan dan tulisan), dan c) mekanisme teknologi. Komunikasi novel, misalnya, di samping dilakukan melalui interaksi tokoh-tokoh, jelas mengandung komunikasi bahasa tulis, bahkan teknologi, sebab tulisan adalah hasil suatu teknologi.
Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah, baik sebagai anggota masyarakat maupun semata-mata sebagai subjek creator, jelas memberikan sumbangan tertentu dalam kaitanya dengan system komunikasi sastra. Karya sastra adalah system komunikasi sebab setiap unit wacana berhubungan dan dapat dihubungkan dengan wacana lain dari semestaan yang lain.
6. 1 Ciri-ciri Anatomitas Pengarang.
Dalam sejarah kebudayaan, aspek kepengarangan, baik sebagai ilmuwan maupun seniman, bahkan dalam bentuk apaun yang melibatkan aktivitas mencipta, jelas memegang perangan penting. Melalui kepengaranganlah terjadi penemuan yang dengan sendirinya diikuti dengan kemajuan dalam berbagai bidang. Kualitas manusia berpikir tidak dengan sendirinya, dan tidak secara keseluruhan lebih penting dibandingkan dengan kualitas maunis bercerita. Komunikasi mengalami stagnasi sebab timbul factor-faktor elementer yang terlalikan, bahkan dengan sengaja dihapuskan, yang justru merupakan energy dalam kehidupan sehari-hari. Manusia bercerita, manusia mengarang yang terjadi katalisator antarindividu, merupakan salah satu aspek yang terlupakan tersebut.
            Sebagai kritikus memandang bahwa dunia kepengarangan merupakan pembicaraan yang sudah kuno dan using. Pernyatan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa karya seni telah hadir sejak manusia mulai melakukan ekpresi diri, sebagai perwujudan terjadinya komunikasi, khususnya terhadap hakikat supernatural. Menurut Plato, pengarang hanya berhasil untuk meniru kenyataan sehingga karya seni yang dihasilkan lebih rendah dari kenyataan. Perkembangan kapitalisme, adanya pembagian kerja menyebabkan pengarang beralih dan merupakan bagian dari dunia penerbitan, sebagai bagian modernisasi.
Dalam kritik sastra konteporer, pembicaraan mengenai subjek pengarang menjadi actual kembali, meskipun dalam bentuk yang berbeda. Secara factual pengarang jelas memegang peranan penting, bahkan menentukan. Tanpa pengarang karya sastra dianggap tidak ada. Dengan kalimat lain, baik dalam masyarakat tradisional maupun modern, status social pengarang termasuk kedalam kelas menengah ke atas. Pengarang adalah anggota masyarakat biasa, sama seperti orang lain. Pengarang jenius akan menghasilkan suprakarya, sedangkan pengarang kelas dua akan menghasilkan karya biasa, bahkan karya picisan.
Sebagai gejala universal, fungsi dan kedudukan pengarang sama, baik kapasitasnya sebagai subjek creator maupun pola-pola hubungannya dengan masyarakat luas, baik di dunia Barat maupun di dunia timur, khususnya Indonesia. Fluktuasi peranan pengarang sepanjang sejarah sastra barat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1) Abad pertama hingga abad ke-16 dengan diilhami oleh Longinus, memberikan intensitas pada    eskpresi dan emosi.
2) Abad Pertengahan (500-1500) pengarang sebagai pencipta kedua, penarang sebagai semata-mata meniru Maha Pencipta.
3) Abad Renaissance (1400-1700) pengarang sebagai creator mulai dihargai.
4) Abad ke-18-19 pengarang sebagai creator yang otonom, seniman mendewakan diri, di Indonesia tampak pada masa Pujangga Baru.
5) Abad ke-20 pangarang disembunyikan di balik fokalisasi, penarang tersirat, bahkan pengarang dianggap sebagai anonimis.
            Dilihat dari segi tanggung jawabnya, tugas ilmuwan dan seniman pada dasarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sebagai tanggung jawab moral. Terdapat perbedaan hubungan antara ilmuwan dengan hasil temuannya dibandingkan dengan hubungan antara pengarang dengan hasil karyanya. Sebagai subjek creator, kondisi pengarang dalam memberikan arti terhadap karya yang dihasilkannya juga dipermasalahkan. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch, Juhl (1980: 27) membedakan antara arti (meaning) dan makna (significance). Arti adalah nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang disebut sebagai pesan penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada situasi pembaca.
Anonimitas sastra lama memiliki implikasi lain. Cerita bias diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain, sebab penceritaan kembali merupakan karya sastra baru. Atas dasar anonimitaslah suatu cerita dapat menyebar secara cepat dan luas, atas dasar anonimitas juga karya sastra dapat dinikmati secara intens sebab setiap karya adalah sekaligus milik pengarang dan pendengar.
Peranan pendidikan dalam mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang disebabkan karena aktivitas mengarang harus disertai dengan ketrampilan menulis, jadi, dilakukan setelah usia dewasa. Ciri khas dunia karang-mengarang terletak pada kemampuan berbahasa sebab sebagai medium karya sastra, berbeda dengan medium karya seni yang lain, seperti seni lukis dan seni rupa, termasuk seni suara, dalam bahasa telah terkandung problematika yang sangat rumit.  

1 comment: